Selain mendapat serbuan drama korea, penonton Indonesia sebenarnya juga dibanjiri serial-serial negeri Paman Sam. Meski tak semasif drama Korea, serial Amrik diam-diam sudah lama masuk dan memiliki penggemar fanatik tersendiri. Hanya saja segmentasi penggemarnya memang tidak begitu luas.
Sebabnya, akses terhadap serial tersebut memang tak seperti seri drama Asia yang hampir setiap hari tayang di layar kaca. TV-TV nasional kita kurang antusias membeli serial Amrik karena selain pasarnya terbatas, harga jualnya juga kelewat mahal. Akhirnya, serial-serial ini pun rata-rata hanya bisa diakses melalui jalur berbayar, dari TV, DVD ataupun sistem online berbayar. Tak sedikit juga yang hobi mendapatkannya dari jalur bawah tanah, mengunduh gratis atau membeli DVD bajakan.
Serial-serial barat yang paling banyak diminati umumnya bertemakan dunia kriminal yang turut bersentuhan dengan hukum dan politik. Dalam daftar ini, kita disuguhi judul-judul seperti CSI, Law and Order, The Closer, Suits, Homeland, Fringe, dan masih banyak lagi.
Mengikuti isi sinetron-sinetron diatas membuat kita mau tidak mau disuguhi cerita bagaimana sistem hukum di negeri polisi dunia bekerja. Bagi kita di Indonesia, yang tidak menganut sistem hukum Anglo Saxon, tentu pada mulanya akan bingung dengan cara kerja polisi, jaksa, dan pengadilan disana. Sistem kita memang berbeda. Kita yang mewarisi sistem kontinental dari Belanda tentu asing dengan sistem Amrik yang mengadopsi sistem common law dari induknya di Britania.
Namun tak ada ruginya juga kan ikut mengamati bagaimana penegak hukum di negeri Obama ini bekerja. Meski ini hanyalah dunia film nan penuh fiksi tapi kita pasti sepakat terlihat kesan bahwa penegakan hukum di negeri Abang Sam ini sudah sangat profesional; hukum benar-benar dijunjung tinggi.
Proses penyidikan sangat modern. Tes DNA sudah bukan barang mewah bahkan untuk kasus “sepele” sekalipun. Elemen penegak hukum sangat disiplin dengan pengawasan yang ketat. Hak-hak terdakwa selalu dijunjung tinggi. Sistem persidangan berjalan fair. Keadilan tak sulit ditemukan. Overall, inilah wajah demokrasi ideal yang selalu kita dambakan.
Melihat “utopia” dari sinetron-sinetron ini, muncul pemikiran lugas; apa iya keterpurukan penegakan hukum kita juga karena andil dari sistem hukum yang berbeda dengan Amerika?
Perbedaan itu, misalnya, terekam jelas dalam setiap serial kriminal yang sedang tayang. Pertama, kita selalu mendengar istilah-istilah yang tak familiar semisal Miranda Right, Sherif, coroner, dll. Berikutnya, dalam setiap penyidikan suatu kasus kejahatan, kita dipertontonkan kesigapan sang detektif. Lihatlah kecanggihan kerja para detektif di CSI yang mungkin membuat kita berdecak kagum. (Kira-kira detektif kita kerjanya seperti itu gak ya?)
Detektif adalah istilah untuk penyidik di departemen kepolisian (Police Department). Nama kepolisian kota-kota di Amerika memang khas dengan singkatan berakhiran-PD (Police Department), setiap serial film biasanya bersetting di salah satu departemen kepolisian.
Kedudukan setiap departemen kepolisian secara struktural berada di bawah pemerintah daerah (kota), meskipun dalam pelaksanaan tugasnya tetap bersifat independen. Sebagai negara federal, masing-masing Negara Bagian/State memiliki otonominya sendiri sehingga antar departemen kepolisian hanya memiliki batas yurisdiksi meliputi daerahnya sendiri. Untuk lingkup federal, organisasi kepolisian yang berada di bawah pemerintah pusat adalah FBI, Federal Bureau Investigation.
FBI menangani jenis kejahatan pada level tertentu atau mencakup lintas State. Police Department tidak berada “di bawah” FBI namun FBI berhak mengambil alih penanganan suatu kasus dari tangan departemen kepolisian sesuai kriteria tertentu. Selain keduanya, masih ada organisasi kepolisian lain seperti DEA, US Marshal, dll. dengan kewenangan yang berbeda-beda.
Jadi organisasi kepolisian di Amerika berbeda dengan di kita yang hanya memiliki satu rantai garis komando pusat dari Mabes Polri hingga satuan tingkat Polsek di seluruh wilayah negara Indonesia.
Organisasi di kepolisian dan kejaksaan Amerika hampir sama alur strukturnya. Perbedaannya, kepala departemen kepolisian di Amerika dipilih oleh pimpinan daerah (gubernur atau walikota). Sementara jaksa wilayah di daerah dipilih oleh warganya (di beberapa daerah, hakim juga dipilih langsung oleh rakyat). Proses pemilihan pimpinan kepolisian (Komisaris) sangatlah ketat. Provos akan menyeleksi nama-nama calon untuk selanjutnya diajukan kepada walikota untuk dipilih. Gambaran seleksi yang ketat namun sangat fair dalam pemilihan ini terlihat dalam serial The Closer (season 6). Apa sistem seleksi pejabat kita juga sebagus itu ya? Aaaamiiiin..
Kerja pengadilan di Amrik juga jauh berbeda. Mereka yang menganut sistem Common Law memiliki dua jenis persidangan, sidang dengan juri (jury trial) atau persidangan biasa (dengan hakim sebagai satu-satunya pemutus perkara).
Tetapi sebelum menuju persidangan, banyak kasus (terutama kasus perdata) di Amrik yang seringkali sudah settled sebelum masuk meja pengadilan. Mediasi antara penggugat dan tergugat diakomodasi oleh penegak hukum secara fair. Tinggal kelihaian kedua pihak beserta para lawyer yang akan menentukan arah kemenangan negosiasi. Serial Suits (2011) banyak menyorot sepak terjang lawyer Amrik yang bertarung di arena ini.
Tidak sedikit juga kasus yang berkategori David vs Goliath. Namun prinsip “kesetaraan di muka hukum” diaplikasikan dengan baik disana sehingga “rakyat kecil” tak selalu harus berakhir dengan terinjak-injak. Ketentuan Pro Bono dijalankan dengan sungguh-sungguh. Pengacara besar pun tidak ogah-ogahan setiap kali memperjuangkan kasus pro bono semacam itu.
Bagaimana dengan pelaksanaan pro bono di negara kita? Entahlah. Padahal tidak jarang kita melihat ada kasus melibatkan David-david miskin yang dengan kata hukum saja mereka tidak tahu artinya. Bagaimana nasib mereka? Sekali lagi, entahlah.
Kembali ke persidangan. Di sana, terdakwa kasus pidana dapat memilih diantara kedua jenis persidangan tersebut. Jika memilih jury trial maka keputusan nantinya berada di tangan sejumlah juri (12 orang). Di persidangan ini, terdakwa atau pembelanya dituntut piawai untuk benar-benar meyakinkan juri.
Nah kalau dibayangkan, sistem jury trial ini sekilas pas sekali andai bisa ada di kita. Saat pengadilan kita diisi instrumen hakim yang sering kali dipertanyakan integritasnya, sistem sidang juri seolah bisa jadi solusi. Apalagi kalau sudah menyentuh masalah koruptor. Ketidakpercayaan pada hakim yang suka memvonis ringan mungkin akan dijawab dengan keputusan juri.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa iya kita siap. Jangan-jangan nantinya ketidakpercayaan pada hakim hanya akan berpindah tempat pada ketidakpercayaan pada juri. Belum lagi kalau harus dihadapkan pada proses seleksi juri, semakin banyak celah yang berpotensi menjadi lahan-lahan baru ketidakpercayaan publik.
Sama halnya dengan sistem dan organisasi penegak hukum negara kita yang berbeda dengan di Amrik. Naif rasanya jika perbedaan ini dijadikan alasan atas kemunduran penegakan hukum di negara kita. Pada intinya, bukan sistem mana yang paling baik. Keduanya sama-sama sudah teruji di tempat yang berbeda, sekarang tinggal pelaksananya saja khan. Dengan sistem yang ada sekarang pun, kalau kita sudah siap untuk menjadi profesional dan berintegritas, tentu saja pasti bagus juga hasilnya.
Sembari menunggu membaiknya penegakan hukum di negeri sendiri yuk mari kita tonton lagi sinetron dari negeri seberang… 🙂
*lanjut nonton*