Posted by: pungipung | August 30, 2011

My Great Mother, My Great Father…

Idul Fitri tinggal menghitung hari. Sayang, keriuhan berlebaran di kampung halaman tak akan dapat dinikmati kali ini. Saya tidak bisa mudik dan harus merelakan berlebaran di perantauan tanpa bersimpuh mencium tangan kedua orang tua nun di kampung sana.

Sedih, tentu saja. Namun bukan saya saja, ibu ternyata lebih sedih lagi. Tampak dari telepon yang sering masuk darinya seminggu terakhir ini. Ah ibu, harusnya akulah yang menghubungimu. Tiba-tiba air mata saya meleleh terkenang akan kebaikan-kebaikan beliau selama ini.

Ibu yang sering hidup susah sejak kecil tak pernah menularkan kesedihannya pada kami, anak-anaknya. Ya, ibu saya seorang yatim piatu sejak kecil. Beliau hidup dengan menumpang dari saudara satu ke saudara lainnya. Selama masa kecil hingga remaja ibu praktis tak pernah bermewah-mewahan. Ibu menghabiskan hari-harinya untuk mengurus keluarga yang ia tumpangi. Sering saya mendengar dari saudara lainnya, betapa berat hidup ibu yang harus tinggal bersama keluarga kakaknya. Konon Kakak ipar ibu terkenal sangat galak. Ibu bekerja bahkan lebih berat daripada pembantu pada umumnya, dari merawat rumah, mengasuh anak hingga menyiapkan keperluan seluruh anggota keluarga yang ia tinggali. Seorang diri!

Ibu memang disekolahkan tapi uang saku yang diberikan kepadanya hanya cukup untuk ongkos transport padahal beliau juga tak pernah sarapan di rumah. Miris hati ini membayangkan masa lalu ibu saya.

Tidak lama setelah lulus SMEA, ibu beruntung bertemu bapak dan akhirnya menikah. Kehidupan ekonomi mereka juga tak jauh lebih baik. Bapak hanya bekerja sebagai sopir. Bapak dan ibu masih menumpang di rumah kakak dari ibu namun tidak lama Bapak memutuskan pindah ke rumah ibunya. Setelah ibu hamil, mereka mulai mengontrak rumah yang kemudian dibeli dengan mengangsur. Saya masih ingat, sampai saya kecil rumah itu tidak berubah. Jangan bayangkan itu rumah mewah. Rumah kami hanyalah rumah kecil berdinding bambu yang nyaris roboh. Setiap hujan turun, kami selalu berkumpul tidur dalam satu kamar karena saking takutnya. Rumah kami seolah akan segera runtuh begitu hujan turun.

Orang mungkin mengira kami keluarga miskin yang menderita. Namun saya sama sekali tidak merasakan penderitaan pada masa itu. Kami merasa berkecukupan. Entahlah, saya merasa tidak kekurangan satu apapun. Belakangan saya sadar, orang tua kami lah yang menghadirkan kebahagiaan itu.

Meski hidup serba pas-pasan, bapak merupakan orang yang sangat bertanggung jawab, tahu bagaimana mengayomi keluarganya. Ibu juga orang yang sangat pengertian, beliau adalah karakter wanita yang tidak ingin menyusahkan orang lain bahkan bapak sekalipun. Baru kemarin ibu bercerita, dulu menjelang waktu kelahiran saya, bidan puskesmas menyatakan ibu harus dirujuk ke rumah sakit daerah karena posisi bayinya yang sungsang. Saya membayangkan ibu yang pasti kebingungan memikirkan biayanya.

Di tengah dilema itu, ibu memutuskan mendatangi dukun beranak di desa. Keputusan yang sangat nekat menurut saya. Ternyata si dukun, menurut ibu, hanya meletakkan piring logam antik di perutnya. Piring itu kemudian diputar-putar. Sama sekali tidak sakit. Hanya beberapa putaran, selesai. Menurut si dukun, bayinya sudah kembali normal. Esoknya ibu kembali ke bidan. Ajaib posisi bayi itu, saya sendiri, katanya sudah kembali normal. Subhanallah, memang benar pertolongan Allah itu sungguh dekat.

Ibu saya lulusan SMEA. Bapak malah hanya lulusan SD. Masa kecil bapak tak kalah pedih, hidup bersama 13 saudara membuat pendidikan beliau terbengkalai dan harus bekerja sejak SD dengan menjadi penjual asongan di kereta api. Setelah SD, bapak tak sanggup melanjutkan sekolah dan hanya mengisi harinya dengan bekerja serabutan. Hingga beliau akhirnya menikah.

Meski hanya sebentar mengenyam bangku sekolah namun orang tua saya sangat concern kepada pendidikan anak-anaknya. Mereka tak ingin anak-anaknya mengalami hal serupa seperti yang sudah mereka alami. Orang tua saya merupakan seorang visioner. Mereka sadar masa depan kami hanya bisa diubah dengan pendidikan yang lebih baik. Dan mereka sadar itu adalah tanggung jawab mereka mendidik kami.

Saya SD di desa, kemudian SMP pindah ke kecamatan tetangga yang lebih maju. Begitu juga dengan adik saya. Selepas SMP, untuk pertama kalinya saya merasa khawatir akan masa depan pendidikan saya. Mempertimbangkan kemampuan finansial orang tua, saya menginginkan bersekolah di sekolah kejuruan agar ke depannya bisa langsung kerja dan tak perlu kuliah. Saat itu yang prospeknya paling bagus adalah STM Telkom.

Sayang biayanya sangat mahal dan orang tua juga tak sanggup menanggungnya. Bapak hanya bekerja sebagai pedagang bensin eceran di rumah. Ibu kemudian bermaksud menjual beberapa perabotan di rumah kami namun saya melarangnya. Hingga kemudian beliau meminta saya bersekolah di SMU kota saja. Ibu memaksa saya seraya berjanji dan memastikan akan membuat saya bisa berkuliah selepas SMU nanti. Beliau mengatakannya dengan sangat serius. Saya terharu.

Janji itu memang ditepati, bapak dan ibu mampu membuat saya bisa kuliah di ibukota hingga mapan seperti sekarang. Dedikasinya kepada kami anak-anaknya sungguh tak terperikan besarnya. Selain masalah kegagalan saya masuk STM Telkom praktis tak pernah ada kendala dalam pendidikan kami termasuk kendala finansial.

Saya merasa bapak dan ibu selalu berkecukupan selama ini sehingga kami lancar bersekolah. Sampai beberapa bulan yang lalu, di tengah obrolan bersama Ibu, saya mendapati kenyataan yang berbeda. Saat itu, saya tidur di pangkuan beliau, melepas rindu setelah lama tak bertemu. Sambil membelai rambut saya, ibu tak henti berucap syukur melihat saya sudah dewasa dan segera memberikannya cucu.

Ibu melanjutkan: “Melihat kamu sekarang, ibu sangat bahagia. Ibu dulu tidak menyangka bisa seperti ini, padahal dulu untuk biayamu masuk SMU saja ibu harus meminjam-minjam uang pada pamanmu.”

Saya begitu terkejut mendengarnya. Pikiran saya salah! Ternyata kerja keras dan pengorbanan ibu begitu besar jauh lebih besar dari yang pernah saya bayangkan. Ini pasti hanya sebagian kecil saja. Saya yakin banyak hal lain yang mereka lakukan namun tidak kami ketahui.

Hati saya bergolak. Apa yang saya berikan selama ini seolah tak berarti apa-apa dibanding pengorbanan beliau berdua, orang tua terhebat di dunia. Saya menangis, saya merasa berdosa telah berpikir sudah berbuat banyak untuk kedua orang tua saya. Padahal itu masih bukan apa-apa.

Saya sungguh beruntung dianugerahi orang tua sehebat ini. Mereka tidak kaya harta tapi hatinya kaya akan kebaikan yang tak pernah terselip pamrih. Mereka memang tidak beruntung bisa bersekolah tinggi-tinggi tapi cita-cita itu tetap ada dan mereka wujudkan kepada kami anak-anaknya.

Ibu, Bapak, sebesar apapun usaha kami membalas budi kalian, tak akan pernah bisa menyamai secuil pun pengorbanan kalian kepada kami. Tak akan pernah.

Bagi kita yang masih memiliki kesempatan berbuat baik bagi orang tua kita, berikan segalanya yang masih mungkin bisa kita berikan. Jangan pernah meragukan ketulusan orang tua kita. Seburuk-buruknya orang tua, mereka tak akan pernah menginginkan anaknya menjadi lebih buruk dari dirinya.

Selamat idul Fitri, Ibu, Bapak…..


Leave a comment

Categories